Ada banyak nama untuk menyebut makanan ini: bipang, jipang, gipang bahkan ada yang menyebutnya brondong (wah nek sing iki pancen enak :D). Snack ini adalah favorit saya waktu masih kecil dulu selain arum manis dan permen. Rasanya manis dan renyah. Terbuat dari beras ketan (mungkin) yang diolah sedemikian rupa hingga berasnya mengembang berlipat2. Saya tidak tahu pasti ini makanan khas mana. Ada yang bilang ini makanan khas jawa timur tapi ada juga yang bilang ini makanan khas Banten.
Sempet nonton Discover China (ne gak salah) disana ternyata ada juga makanan ini. Cuma sayangnya saya telat nontonnya, jadi cuma sempat liat biji-biji bipang itu di aduk dalam gula karamel lalu di tuang dalam cetakan. Jadi penasaran gimana ya cara bikin biji2 beras itu bisa ngembang segede jagung. Enak kali ya kalo kita bisa menemukan varietas padi seperti itu. Ngga bakalan ada kelaparan di Indonesia. Lha berasnya aja segede itu. Untuk bikin nasi sebakul kita mungkin cuma butuh segenggam beras. Mosok yang gede-gede selalu datangnya dari Bangkok (meski konon katanya benihnya gak ada satupun yang dari Thailand). Nah timbang kangelan golek bekatul mending cari cara bikin padi varitas unggul sing iso segede biji bipang. Iso ra, Pi?
31 August 2007
22 August 2007
Mahameru 2
14 August 2007
Mahameru
Saya menyebutnya sisa-sisa masa kejayaan. Bayangin aja naik gunung pertama kali ke gunung tertinggi se Jawa pula. Siapa yang ngga bangga. Tapi rasa bangga itu justru muncul bertahun-tahun sesudah kejadian. Saya lupa tepatnya tahun berapa yang pasti bulan Agustus, saya -tanpa direncanakan sebelumnya- bergabung dengan teman-teman satu kost yang akan mendaki gunung Semeru. Keputusan saya untuk ikut mendaki saya buat hanya beberapa jam sebelum berangkat. Misi saya juga tidak sehebat misi Gie. Saya cuma ngga mau kesepian di kost karena semua pada mudik.
Karena memang bukan pendaki gunung (tapi saya pecinta alam lhooo) saya tidak punya perlengkapan untuk mendaki. Akhirnya sambil di susu-susu (diobrak teman2 maksute)saya cari pinjaman sepatu (sepatuku wes elek), jaket dan lain-lain. Pendek kata semuanya barang pinjeman kecuali sidi dan kutang hehe.. Jangan tanya soal kemampuan baca peta dan kompas karena kami tidak membawa 2 benda itu (pokoke benar2 bonek alias bondo nekat). Bekal? Kami cuma bawa mi instan tok!! Plus susu bubuk dan kornet. Perlengkapan lain saya tidak tahu menahu, karena backpack saya (yang biasa saya pake buat kuliah) cuma berisi mukenah (ben ketok alim), dan perlengkapan daleman, baju ganti, sarung tangan, topi plus makanan kecil dan air minum. Jadi bek pek nya kempes ngga seperti pendaki2 lain yang bek pek nya bisa melebihi tinggi kepalanya. Bahkan ada yang ditaruh di dada pula. Celana yang saya pakai pun celana jins. Norman Edwin pasti ketawa kalo lihat persiapan saya mendaki. Pokoknya perlengkapan yang kami bawa sangat standar kalau tidak boleh dibilang minim.
Sampai di Ranu Pane hari masih sore. Poto-poto merupakan acara utama. Ini salah satunya.
Malamnya saya kedinginan karena jaket dan celana saya dari bahan jins (oon tenan). Untung semua bisa teratasi sehingga perjalanan ke Ranu Kumbolo bisa dilanjutkan keesokan harinya. Disana poto2 lagi laaahhh�. Ini salah satunya.
Ranu Kumbolo ini lebih luas (14 ha) dan lebih indah dari Ranu Pane. Airnya pun jernih. (kami langsung meminumnya tanpa dimasak, ngeman parafin kata temen saya hahahaha kere tenan). Setelah bermalam di Ranu Kumbolo kami (6 cowo 2 cewe) berangkat menuju pos terakhir di Kalimati. Di awal perjalanan kami langsung dihadang bukit terjal kemudian melewati padang rumput luas yg dikelilingi bukit dan gunung. Namanya Oro-oro Ombo. Pokoknya indaaaaaaahh sekali. Setelah itu kami masuk hutan cemara, Cemoro Kandang (duuuhh pingin kesana lagi).
Sampai di pos Kalimati (2.700 m) kami (eh teman2ku ding) mendirikan tenda. Sudah magrib waktu itu. Aduuuuhhh indah sekali melihat sunset di alam terbuka tanpa diganggu suara mesin mobil dan dering telpon. Sambil menunggu tendanya berdiri. (aku dan Yeti, cuma duduk-duduk bak juragan :D). Yang ngambil air ke sumber (lupa namanya) juga yang cowok-cowok. Jadi kami berdua (aku dan Yeti) benar-benar tidak berguna sama sekali hehehe. Malamnya, lagi-lagi saya kedinginan gara-gara celana jins itu.
Besoknya perjalanan berlanjut ke Arcopodo (2900m) Sekitar 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang di tepi jalannya terdapat jurang yg sangat curam. Arcopodo ini adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir. Kami berangkat dini hari sekitar jam 2 karena estimasi waktu pendakian ke puncak Semeru sekitar 3-4 jam dengan medan yang cukup berat. Sungguh, seandainya saya tahu sebelumnya medannya akan seberat itu, saya yakin tidak akan ikut dalam pendakian. Saya sempat putus asa dan ingat mati (sungguh!!!) karena puncak yang kelihatannya dekat itu tak kunjung tercapai. Tanah (baca: pasir) yang saya injak selalu longsor. Kemiringan 45 derajat (mungkin lebih) membuat kami tidak bisa disebut berjalan tapi merangkak. Di sini kelihatan sekali watak asli teman-teman saya. Ada seorang teman yang mulai berhalusinasi berteriak-teriak minta kiriman helikopter. Ada bakat schizophrenia kayaknya hehehe (piiiissss Anen). Tapi akhirnya, meski tidak sempat menyaksikan asap dari Kawah Jonggringseloko, kami puas berhasil menjejakkan kaki di Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa....
Ini poto perjalanan pulang dengan latar belakang gunung Semeru
NB: Maaf fotonya agak burem. ini poto yg dipoto lagi pake kamera hp :P (mekso.com)
Karena memang bukan pendaki gunung (tapi saya pecinta alam lhooo) saya tidak punya perlengkapan untuk mendaki. Akhirnya sambil di susu-susu (diobrak teman2 maksute)saya cari pinjaman sepatu (sepatuku wes elek), jaket dan lain-lain. Pendek kata semuanya barang pinjeman kecuali sidi dan kutang hehe.. Jangan tanya soal kemampuan baca peta dan kompas karena kami tidak membawa 2 benda itu (pokoke benar2 bonek alias bondo nekat). Bekal? Kami cuma bawa mi instan tok!! Plus susu bubuk dan kornet. Perlengkapan lain saya tidak tahu menahu, karena backpack saya (yang biasa saya pake buat kuliah) cuma berisi mukenah (ben ketok alim), dan perlengkapan daleman, baju ganti, sarung tangan, topi plus makanan kecil dan air minum. Jadi bek pek nya kempes ngga seperti pendaki2 lain yang bek pek nya bisa melebihi tinggi kepalanya. Bahkan ada yang ditaruh di dada pula. Celana yang saya pakai pun celana jins. Norman Edwin pasti ketawa kalo lihat persiapan saya mendaki. Pokoknya perlengkapan yang kami bawa sangat standar kalau tidak boleh dibilang minim.
Sampai di Ranu Pane hari masih sore. Poto-poto merupakan acara utama. Ini salah satunya.
Malamnya saya kedinginan karena jaket dan celana saya dari bahan jins (oon tenan). Untung semua bisa teratasi sehingga perjalanan ke Ranu Kumbolo bisa dilanjutkan keesokan harinya. Disana poto2 lagi laaahhh�. Ini salah satunya.
Ranu Kumbolo ini lebih luas (14 ha) dan lebih indah dari Ranu Pane. Airnya pun jernih. (kami langsung meminumnya tanpa dimasak, ngeman parafin kata temen saya hahahaha kere tenan). Setelah bermalam di Ranu Kumbolo kami (6 cowo 2 cewe) berangkat menuju pos terakhir di Kalimati. Di awal perjalanan kami langsung dihadang bukit terjal kemudian melewati padang rumput luas yg dikelilingi bukit dan gunung. Namanya Oro-oro Ombo. Pokoknya indaaaaaaahh sekali. Setelah itu kami masuk hutan cemara, Cemoro Kandang (duuuhh pingin kesana lagi).
Sampai di pos Kalimati (2.700 m) kami (eh teman2ku ding) mendirikan tenda. Sudah magrib waktu itu. Aduuuuhhh indah sekali melihat sunset di alam terbuka tanpa diganggu suara mesin mobil dan dering telpon. Sambil menunggu tendanya berdiri. (aku dan Yeti, cuma duduk-duduk bak juragan :D). Yang ngambil air ke sumber (lupa namanya) juga yang cowok-cowok. Jadi kami berdua (aku dan Yeti) benar-benar tidak berguna sama sekali hehehe. Malamnya, lagi-lagi saya kedinginan gara-gara celana jins itu.
Besoknya perjalanan berlanjut ke Arcopodo (2900m) Sekitar 1 jam dari Kalimati melewati hutan cemara yang di tepi jalannya terdapat jurang yg sangat curam. Arcopodo ini adalah wilayah vegetasi terakhir di Gunung Semeru, selebihnya akan melewati bukit pasir. Kami berangkat dini hari sekitar jam 2 karena estimasi waktu pendakian ke puncak Semeru sekitar 3-4 jam dengan medan yang cukup berat. Sungguh, seandainya saya tahu sebelumnya medannya akan seberat itu, saya yakin tidak akan ikut dalam pendakian. Saya sempat putus asa dan ingat mati (sungguh!!!) karena puncak yang kelihatannya dekat itu tak kunjung tercapai. Tanah (baca: pasir) yang saya injak selalu longsor. Kemiringan 45 derajat (mungkin lebih) membuat kami tidak bisa disebut berjalan tapi merangkak. Di sini kelihatan sekali watak asli teman-teman saya. Ada seorang teman yang mulai berhalusinasi berteriak-teriak minta kiriman helikopter. Ada bakat schizophrenia kayaknya hehehe (piiiissss Anen). Tapi akhirnya, meski tidak sempat menyaksikan asap dari Kawah Jonggringseloko, kami puas berhasil menjejakkan kaki di Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa....
Ini poto perjalanan pulang dengan latar belakang gunung Semeru
NB: Maaf fotonya agak burem. ini poto yg dipoto lagi pake kamera hp :P (mekso.com)
Subscribe to:
Posts (Atom)