Sepertinya Haris tidak main-main dengan ucapannya. Pesan singkat itu makin memupuskan keraguan Ratri atas kesungguhan Haris. Satu jam lagi aku tiba di bandara Juanda. Tolong jemput aku, begitu bunyi pesan singkatnya. Sesaat Ratri tertegun. Dadanya berdegup kencang. Perasaan senang, takut, tersanjung dan berbagai rasa lain bercampur aduk di dadanya. Ada keraguan juga. Perdebatan sengit antara ya dan tidak berkecamuk dalam batin Ratri. Bayangan Adi, suaminya yang begitu baik, penyayang, sabar dan tulus mencintainya melintas bergantian dengan bayangan masa lalunya yang indah bersama Haris. Letih dirasakan Ratri beberapa hari ini. Bukan tubuhnya tapi batinnya, pikirannya. Haris sudah begitu banyak menyita energinya. Tapi Ratri juga tidak bisa begitu saja mengusir bayangan lelaki yang pernah dicintainya itu dari benaknya, malah sepertinya Ratri justru menikmati kehadiran Haris dalam bayangannya, dalam mimpi-mimpinya. Berbagai peristiwa yang pernah dialaminya berdua dengan Haris sengaja dia hadirkan lagi dalam pikiran liarnya. Dalam beberapa kesempatan, di mimpi-mimpinya, Ratri bahkan membiarkan Haris melakukan hal-hal yang didambakannya. Memeluk, membelai, mencumbu... Ah..kenapa aku begitu terpesona pada lelaki ini, batin Ratri berteriak.
Pesawat yang ditumpangi Haris mendarat di bandara Juanda. Meleset sedikit dari waktu yang dijanjikan Haris pada Ratri. Hal pertama yang dilakukan Haris ketika kakinya menginjak tanah adalah menghubungi Ratri, memastikan dia sudah ada di terminal kedatangan. Tapi yang diharapkan ternyata tidak muncul. Tidak mungkin dia mengabaikan aku. Aku tahu siapa Ratri, bertahun-tahun aku mengenalnya, pikir Haris. Tidak mungkin dia berubah secepat ini, Haris masih yakin dengan pikirannya. Bukan tanpa alasan Haris mempertanyakan ketidakhadiran Ratri di bandara untuk menjemputnya. Lima tahun dia berpacaran dengan Ratri dan selama itu pula berkali-kali Haris mengkhianati Ratri dan berkali-kali juga Ratri membukakan pintu maafnya untuk Haris.
Sementara itu pada saat yang sama dada Ratri bergemuruh. Dorongan kuat untuk menjumpai Haris, menumpahkan kerinduan yang tiba-tiba muncul sejak pesan-pesan singkat Haris mebombardirnya beberapa hari terakhir. Dada yang bergemuruh itu juga menyimpan birahi yang tak kalah besar disimpannya rapi dalam angannya. Dibiarkannya fantasi-fantasi liar menguasai pikirannya. Didiamkannya tangan Haris yang dengan lembut melepas helai demi helai pakaian yang melekat di tubuhnya. Sejenak Ratri lupa siapa dia, siapa Haris, yang ada hanya desah nafas mereka berbaur dengan peluh yang mengalir deras.
Ratri tidak pernah menyesal telah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam dirinya. Bagi Ratri Haris hampir pasti menjadi suaminya, sampai suatu ketika datang Ninuk membuyarkan impiannya, membuka kekhawatiran akan hadirnya lelaki lain selain Haris yang rela menikahi perempuan ternoda seperti dirinya. Tapi ternyata kekhawatiran itu tidak beralasan. Adi, pria yang sama sekali jauh dari bayangan idealnya tiba-tiba muncul seperti bintang jatuh dari langit membawa perhatian dan cinta. Sejujurnya tidak ada cinta untuk Adi, tapi bagi Ratri cinta adalah sesuatu yang lentur. Cinta bisa datang kapan saja dan Ratri yakin itu. Adi pria yang baik tidak ada alasan bagi Ratri untuk menolaknya. Ratri tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya, dan karena alasan itulah dia tetap menyimpan rapat rahasia besarnya bersama Haris. Ratri memilih berjudi, mengadu nasib di malam pengantinnya.
Noda merah di sprei ranjang pengantinnya menjawab segala ketakutan Ratri sekaligus menjadi penanda Ratri telah memenangkan perjudian yang dirancangnya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun. Selaput dara, meskipun tidak mutlak bisa dijadikan indikasi seseorang masih perawan atau tidak, tapi bagi sebagian orang masih sangat berarti. Untuk orang yang pernah ternoda seperti Ratri, bisa mempersembahkan setetes darah di malam pengantin sungguh hal yang luar biasa melegakan. Antara lega, gembira dan terharu juga rasa bersalah berkecamuk dalam dada Ratri. Adi pria yang baik tapi dia mendapatkan yang tidak sepatutnya dia dapat. “Ah…aku sangat berdosa,“ Ratri menarik nafas.
“Mbak, jam berapa latihannya dimulai?” suara Dina, membuyarkan lamunan Ratri. Dia segera bangkit dan mengambil fit ball kemudian memulai kelas pilatesnya. Dibiarkannya Haris menunggu, bukan karena dia tidak ingin bertemu lelaki pujaannya itu tetapi Ratri ingin menghormati lelaki yang selama ini juga menghormatinya. Ratri ingin belajar menjadi wanita yang pantas bagi Adi, lelaki yang sedikit demi sedikit mulai dicintainya.
5 comments:
Mbakkk... elek ceritone! Sorry yo hehehehe Peace!!! So simple gitu loh alurnya. Sudah bisa ditebak. Jujur saja aku berharap lebih dari cerpen ini sejak membaca judulnya yang lumayan "MARKETABLE" hehe..
Sorry to say like above.. hehe. Menurut saya cerpen bagus itu harus memenuhi satu diantara kriteria berikut ... "Cerita yg nggak umum", "Unpredictable", atau paling tidak we get "something" dari cerpen itu.Misalkan menceritakan satu tempat or culture dari satu negara yg belum pernah kita kunjungi atau ketahui sebelumnya. At least kita dapat wawasan dari situ.
KUTUNGGU CERITA LAINNYA!! SAPA TAHU NTAR BISA NYUSUL JEJAKNYA ZARRA ZETTIRA, MIRA W, DEE, AYU UTAMI DLL.
bagus sih tapi ada kesan cerita pingin segera di akhiri / belum lagi melompat dari satu setting ke setting yang lain sangat kentara.tapi sip ,daripada saya yg peingin nulis tapi nggak mau mulai mulai . terus ya mbak tak tunggu yang lain.
Moco tulisan sampean aku langsung iling film the departed, film-e Martin scorses sing anyar. Persi koyok tulisan sampean, awalnya disusun rapi, lalu berloncatan pada akhirnya terburu-buru diakhiri.
Sorry gak isu sowan.
yup...kesan terburu2 terasa diakhir cerita....apa mungkin karena ini cerbungpen ya ?...hehehehehe :)
tambahin intriknya bagus tuh mbak :)
tapi....selamat deh...sudah memulai sesuatu yang tidak bisa aku lakukan....ato belom bisa...ato males yo...hihihihihi ;b
Ini cerita waktu saya jemput istri dan anak-anak di Bandara Soekarno-Hatta. Sudah malam saat itu, sekitar pukul 21.00.
Waktu tunggu, saya duduk di sebelah pria gagah berpakaian necis dengan potongan rambut pendek nan macho. Sepatunya keren dengan tas koper bagus.
Dia berbicara lewat handphone:
"Saya dipotong Rp 111,xxx," katanya dengan nada melapor. lalu diam mendengarkan jawaban dari seberang.
"Iya, kan sudah saya bilang, dipotong 75%," katanya nadanya merajuk, sedikit marah, protes dan seperti anak yang minta pertanggungjawaban orang tua.
"Saya harus pulang kemana?" tanyanya kepada orang diseberang sono. Nadanya masih merajuk dan minta pertanggunjawaban. lalu diam mendengarkan.
"Kalau ke Bogor? dia menawar. Diam mendengarkan jawaban.
"Suamimu ada ngak?" pancingnya. lalu diam
"Jadi suamimu ngak ada, jadi saya bisa kerumahmu?," tukasnya cepat. diam mendengarkan.
"Ya,ya.. saya ke tempatmu," katanya sambil menutup telepon dan berbegas pergi.
Menurut anda, apa ini?
Ps: ngak perlu ditampilkan, bukan konsumsi publik, khusus buat anda. Barangkali bisa dapat ide untuk menulis lagi. Mosok mandeg nant Ratri thok.
Post a Comment