12 November 2006

KOMENTAR MAS PEPIH ATAS 'RATRI'

Dengan segala kerendahan hati saya berterimakasih mohon maaf yang sebesar-besarnya pada Mas Pepih, karena tanpa menunggu persetujuan beliau saya memuat komentarnya atas cerpen saya di blog ini. Maksud saya memuat tulisan ini supaya saya bisa mendapat masukan lebih banyak lagi dari teman-teman yang lain (mudah-mudahan ada, hehe.. maruk ya..), sehingga saya bisa menulis lebih baik lagi, dan syukur-syukur ada media cetak yang memuatnya. Tentu saja setelah ada masukan dari Anda.


“Virginity”

Kali ini sahabat kita dari Surabaya, Dena, mengirimkan cerpen “Ratri” untuk kita nikmati bersama. Persoalan inti dari cerpen ini sesungguhnya hal yang “menantang” (atau tabu) untuk didiskusikan, yakni masalah keperawanan (virginity). Mengapa diskusi ini menarik dan bahkan sampai diangkat dalam sebuah cerpen, tentu si penulis cerpen punya alasan.

Akan tetapi, saya harus berkata jujur, Dena kurang mengeksplorasi arti sebuah virginity, padahal, inilah “nafas” cerpennya, di samping juga arti sebuah keteguhan sekaligus rasa bersalah Ratri terhadap suaminya, karena ia tidak menyerahkan keperawanannya kepada suaminya, Adi. Ia malah menyerahkannya kepada mantan pacarnya yang nakal, Haris. Itu jalan ceritanya, dan itu hak pengarang yang punya lisensi kebebasan berekspresi.

Karena sifatnya yang harus pendek, cerpen biasanya selesai dalam “setarikan nafas” saja. Kalau tokoh Ratri tidak bisa tidur dan iri kepada mereka yang bisa tidur lelap, seharusnya jelaskan kenapa Ratri tidak bisa tidur saat itu, apakah karena memikirkan rasa bersalah karena telah membohongi suaminya atau karena hal lain? Juga dalam plot (alur cerita), tidakkah sebaiknya semua adegan selesai dalam “ketidakmampuan” Ratri tidur malam itu, meski pikirannya harus melayang pada SMS Haris, pada kedatangan Haris dan janji dengannya untuk bertemu, pada pelatihan pilates selaku instruktur, dan kejadian lainnya.

Saya ingin mengetengahkan arti penting sebuah eksplorasi untuk menghidupkan konflik atau persoalan sebuah cerita. Jelas yang harus dicari, dieksplor dan ditelesur rekan Dena adalah virginity itu tadi. Bercerita tentang ini tentu akan terlepas dari konotasi jorok jika diletakkan dalam konteks budaya, misalnya, setidak-tidaknya “pembenaran” sepihak kaum pria bahwa istrinya haruslah seorang perawan suci saat malam pertama. Memang klasik, tetapi percaya atau tidak, sampai sekarang masih saja ada orang yang memegang teguh asumsi itu.

Jika sahabat Dena menghiasi cerpennya dengan mengeksplorasinya sebuah contoh bagaimana Ken Dedes dengan wajah masam dan menangis harus menyerahkan keperawanannya kepada si buruk rupa Tunggul Ametung, dengan dayang-dayang yang siap meletakkan kain putih di atas kasur Dedes, kita akan menjadi paham bahwa persoalan virginity sudah ada sejak zaman kerajaan dulu (baca Dedes Arok, Pramoedya Ananta Toer).

Juga bagaimana Srintil dengan sukarela menyerahkan keperawannnya kepada Rasus kekasihnya, sebelum ia dinobatkan menjadi ronggeng pada usianya yang ke-11(lihat Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari), sebelum beberapa menit kemudian Srintil harus melayani Si Lurah pemabuk yang haus keperawanan. Meski Si Lurah harus kehilangan kerbau dan sawahnya, ia rela saja kehilangan itu semua demi prestis “keperawanan” Srintil yang dijual kakek-neneknya. Karena bersetubuh saat mabuk, Si Lurah tidak bisa merasakan Srintil perawan atau bukan.

Atau, pernahkah sahabat Dena mendengar berita adanya “perkawinan semalam” saja setelah si pengantin pria mengetahui kalau istri yang dinikahinya sudah tidak perawan lagi dengan indikasi tidak menetaskan darah pada malam pertama? Atau pernikahan yang sudah bertahun-tahun dan sudah punya anak banyak tetapi harus bercerai hanya karena di kemudian hari suami mengetahui istrinya (atau istri mengaku) dalam keadaan tidak perawasan lagi saat malam pertama dulu?

Sekali lagi eksplorasi. Eksplorasi bukan berarti kita harus mengalami dulu. Konyol namanya kalau pengarang mau bercerita tentang perampokan bank ia harus merampok bank terlebih dahulu! Pengarang tokoh Flash Gordon tidak harus mengalami pergi ke bulan saat dia menulis ceritanya, bukan? Memang pengarang terkaya di jagat ini JK Rowling pernah berpesan, mulailah menulis dari apa yang kita ketahui. Tetapi saya bisa tidak sependapat dengan pencipta tokoh Harry Potter itu, bahwa saya bisa saja memulai menulis dari apa yang saya tidak tahu. Caranya? Eksplorasi!

Mungkin karena kerangka pikir saya yang seorang jurnalis, saya pasti akan cari dan telusur informasi tentang virginity di berbagai kamus dan ensiklopedi. Bagaimana konsep virginity ini menjadi persoalan sosial, budaya, etnis, dan bahkan religi! Kalau sahabat blogger malas ke perpustakaan, klik saja Wikipedia atau Google dan masukkan kata kunci virginity atau "keperawanan", setidak-tidaknya informasi tentang hal ini sekilas akan terbahas disertai rujukannya. Artinya, menulis cerpen pun harus disertai kedalaman dan pemahaman masalah yang memadai, agar cerpen menjadi bernilai.

Sekarang, kita nikmati bersama cerpen karya Dena di bawah ini, dengan tampilan apa adanya (tanpa proses editing dari saya), termasuk “kalimat berani” saat menjelaskan proses, maaf... persetubuhan. Untuk media blog, saya bisa memahaminya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan dalam rangka saling belajar satu sama lain. Tetapi kelak detail ini bisa diperhalus, dipersingkat, atau bahkan dihilangkan saja jika itu dimaksudkan untuk dimuat di media massa yang kemungkinan dibaca anak yang belum waktunya membaca, tanpa menghilangkan makna sesungguhnya (bagian ini saya blok dengan huruf merah, tanpa menghapusnya)--(bagian ini yang dimaksud Mas Pepih:menggoda suaminya dengan gerakan-gerakan tubuh yang erotis untuk kemudian, ganti, giliran dia yang 'mengalahkan' suaminya di ranjang, dan Didiamkannya tangan Haris yang dengan lembut melepas helai demi helai pakaian yang melekat di tubuhnya. Sejenak Ratri lupa siapa dia, siapa Haris, yang ada hanya desah nafas mereka berbaur dengan peluh yang mengalir deras)--. Lalu ciptakan kalimat pendek dengan alinea (paragraf) yang pendek pula, biar tidak menyiksa nafas pembaca.

Pesan saya pada Dena, jangan putus asa, teruslah menulis, menulis dan menulis. Jika sudah terbiasa, kelak menulis akan semudah berbicara, semudah penyiar menghamburkan kata-kata di radio. Sahabat bisa memberi komentar langsung karya Dena atau mengirim komentarnya ke alamat pepih_nugraha@yahoo.com, silakan…

Saya tunggu komentar Anda... Terimakasih.

4 comments:

Lina We said...

mba', mba'...... doain aku bsa nulis juga yaah!!!!

Asyuha said...

aku moco komentar e kok merinding yah..... huhuhuhuhu..... ojok galak galak toh mas pepih... :D aku yo sek belajar nulis eee... dadi grogi akuw...

Anonymous said...

apa ku bilang mbak, bagus kan tulisannya??
tetep semangat ya mbak.:)

Anonymous said...

Aku udah baca tulisannya di bloknya Kang Pepih. Ceritanya seru juga... Happy writing :D