15 October 2006

RATRI

Lukisan Bung Yon
klicknews.tripod.com


Rasanya aku pantas iri pada orang-orang itu. Mereka bisa tidur lelap diatas tumpukan kelapa dagangannya sambil diterpa angim malam yang dingin. Mereka juga bisa nyenyak di atas tumpukan batu dengan hanya beralaskan tikar dan dihajar angin di atas truk berkecepatan tinggi yang membawa mereka ke tempat mereka bekerja, entah dimana. Mereka juga bisa terlelap hanya dengan beralas koran dan berselimut sarung kumal di trotoar sembari dibuai gemuruh deru lalu-lalang kendaraan.

Ya, Ratri memang pantas iri pada mereka. Kasur empuk, sejuknya AC, indahnya pemandangan taman mungil di balik jendela kamarnya tidak mampu mengantarkan Ratri tidur lelap. Dengkur halus suaminya di sampingnya membuat Ratri semakin tidak bisa memejamkan mata. Pada saat-saat seperti ini, suara cicak di dinding kamarnyapun terasa sangat menganggu. Suara indah gesekan daun palm botol yang tertiup angin di samping kamarnya yang biasanya menjadi lullaby bagi Ratri, sekarang justru terasa sangat memekakkan telinga.

Ratri mencoba berbagai posisi tidur. Menghadap suaminya, berbalik lagi menghadap taman, memeluk guling sampai melipat bantalnya menjadi dua tetap saja tidak mampu membuat Ratri nyaman. Dilihatnya wajah lelah suaminya disampingnya. Beberapa hari terakhir ini Adi, suaminya sering mengeluh tentang pekerjaannya.

“Ali itu ngga pantes jadi wartawan. Logikanya ngga jalan, akibatnya kerjaanku jadi tambah. Aku harus turun tangan wawancara dengan narasumber untuk melengkapi tulisannya yang amburadul itu,” keluhnya suatu hari.

Adi memang seorang perfeksionis. Kadang-kadang malah –dimata Ratri- dia haus pujian. Itulah makanya, Adi selalu berusaha memberikan yang menurutnya baik untuk kantornya. Akibatnya tuntutannya pada bawahannyapun tinggi. Padahal Adi sadar kemampuan mereka –dimata Adi- masih belum mencapai standar, kalau tidak boleh disebut parah. Tapi untunglah, Adi hanya mengutarakan itu pada istrinya. Bagi Adi, biarlah dia sombong di depan istrinya asal tidak di depan orang lain. Toh istrinya sudah tahu siapa dia seutuhnya.

“ Teng, teng".
Terdengar, bunyi tiang listrik dipukul 2 kali. Ah..sudah jam 2 pagi, aku masih belum bisa tidur, pikir Ratri. Lalu bayangan kejadian siang tadi kembali berkelebat di benaknya...


bersambung

4 comments:

Anonymous said...

ah..kayaknya ratri cocok menggantikan ali, anak buah adi (suaminya) yang gak paham logika itu. Ratri pinter nulis, lebih logis. Gimana ratri? ratrimo opo piye?

Pepih Nugraha said...

Wah, sudah mulai menulis cerpen dengan sebuah pembukaan yang bagus: perbandingan! Pasti bikin penasaran orang yang membacanya. Saya baru mau ngasih komentar seusai cerpen ini selesai.

Pepih Nugraha said...

Tadi saya kirim koment, tapi kuatir tidak nyampe, maka saya ulangi lagi ya, hehehe... Intinya, memulai cerpen dengan sebuah perbandingan itu baik, sebab membuat orang penasaran. Mengkontraskan santara satu hal dengan hal lainnya juga baik, sebab pada kenyataannya kehidupan juga memiliki unsur kebalikan: yin dan yang, baik dan buruk, tinggi dan rendah, dan sebagainya.

Anonymous said...

Sorry yo mbak, bukannya tidak suka dengan cerpen anda, tapi mungkin lebih bermakna kalau anda membuat tulisan non fiksi saja. Misalkan, reaksi ibu-ibu dipasar soal pembuangan lumpur lapindo ke laut. Lah nanti ikan-ikannya pada kecanduan lumpur lapindo, terus dimakan anak kita. terus gimana?
Atau berbagi resep membuat klepon yang yahud.
Atau hikayat tempe penyet yang pernah jadi penyelamat banyak orang saat krismon lalu.
Atau tetang Elan yang menyerap begitu banyak 'gen' anda.
Atau apa saja lah.
Sorry lho mbak.